Jumat, 15 Maret 2019

Sebuah Kesadaran yang Tidak Sadar-sadar Amat


Sadar diri. Kebanyakan orang itu entah kenapa sangat susah sekali untuk sadar diri. Lha wong saya saja kalau urusan sadar diri selalu datang belakangan. Ora ngrumangsani babar blas! Dan akhirnya beberapa hari terakhir ini saya benar-benar merasa terwakilkan dan langsung sadar setelah membaca tulisan di mojok.co yang judulnya Pedoman Menjadi Orang Dewasa Bagi Milenial Angkatan ’96 Ke Atas 

Iya, sebuah pedoman yang benar-benar iya banget. Dari semua segi yang dibahas disana saya rasa mewakilkan apa yang saya rasakan saat ini. Mengenai umur yang sudah mulai nambah dan rasanya yang masih gini-gini aja. Angkatan 90an itu udah cukup untuk dibilang dewasa lho! Tapi baiklah, ukuran dewasa itu memang relatif. Tidak semua orang akan beranjak dewasa secepat itu. Tapi keadaan akan selalu memaksa secepat itu. Cepat atau lambat semua yang ada di depan mata harus benar-benar dipikirkan secepat mungkin. 

Ah, saya jadi teringat obrolan tempo hari di kampus. Waktu itu hujan deras, dan kami sedang menunggunya reda sambil ngobrol-ngobrol. Lalu entah kenapa obrolan kami menjurus ke arah rencana nikah. Yap. Rencana nikah, teman saya katanya ditargetkan nikah oleh orangtuanya di umur 24 tahun, perempuan. Padahal dia sekarang baru 22 tahun. Artinya masih ada waktu 2 tahun lagi. Saya tidak habis pikir dengan target-target menikah ini. Maksudnya, pikir saya itu umur-umur angkatan 96 ini masih belum cukup umur untuk menikah. Walaupun tidak bisa dipungkiri sih, ada sesekali terbesit di dipikiran saya tentang "kesadaran umur" saat mendapati teman-teman seangkatan saya mulai menikah dan lamaran satu per satu. Padahal diri ini masih begini-gini saja. Lulus kuliah aja belum. Kerja aja belum. Jalan-jalan atau sekedar memanjakan diri dengan hasil uang sendiri saja belum. Kok yang lain sudah pada menikah. Iya, saya tahu mereka yang menikah muda itu sudah pasti punya pemikiran dan prinsipnya masing-masing. Dan saya yang pasti ikut berbahagi lah, orang bukan saya juga yang ngurusi biaya nikahnya. Jadi, ya udah lah ya. Mungkin saya bisa berpikiran seperti itu karena saya belum ketemu jodoh untuk saat ini kali ya. "Bilang aja iri wooo". Lho lho lho ya dikit. Beda cerita lagi kalau misalkan saya udah ketemu jodoh, yang lain pada nikah, ya mau lah nyusul.  Dikira gampang apa langsung nikah! Wkwkwk

Kembali lagi ke masa transisi menuju dewasa. Saat ini, diumur yang tahun ini sudah bisa dibilang dewasa. Rasanya hal terberat ya hanya skripsi saja. Padahal di tahun-tahun setelahnya, masih ada perjuangan menjajaki dunia kerja yang tidak tahu saya akan menuju ke arah mana. Melihat teman saya yang sudah lulus dan pontang-panting sana-sini mencari pekerjaan dan belum berhasil saja sudah membuat saja kecil hati. Ternyata tidak mudah ya cari kerja itu. Padahal dipikiran saya itu setelah lulus, mau cari kerja yang begini-begini-begitu banyak milihnya. Belum lagi syarat-syarat lowongan kerja yang mengharuskan sudah punya pengalaman. Udahlah ngalamat saya jadi minder, dan mencoba mengatur ulang masa depan saya ke yang lebih realistis, tanpa mengedepankan ego. Apakah semengerikan itu memunyai keinginan?

Dipikir ulang lagi, saya juga mulai sadar bawasannya saya dari dulu belum pernah dibekali dengan kemandirian dan keprihatinan. Yang ada masih bergantung terus dengan orangtua. Bahkan coba-coba kerja part time pun saya tidak berani. Entah itu tidak berani atau saya yang kelewat kurang temua. Padahal berasa mapan, tapi mandiri pun belum sepadan. Sampai akhirnya beberapa waktu lalu ditawari kerja dengan iming-iming uang yang terbilang cukup untuk beli-beli buku atau tambahan jajan. Iya, uangnya memang tidak seberapa, tapi karena didapat dari hasil jerih payah sendiri itu bikin haru ya. Rasanya nyes aja gitu di hati. Ternyata hasil usaha sendiri memang bisa membuat sebahagia itu :"

Memang sebuah kesadaran mahal harganya. Sadar-sadar sudah hampir mepet. Yuk kejar target!!!
Share:

0 comments:

Posting Komentar